Enggak semua anak dapat warisan materi atau harta yang banyak serupa konglomerat, ada juga yang hanya mendapat warisan berupa bahu yang kuat. Hanya itu . —Aksara Segara
Lalu kami juga berbincang perihal bagaimana hubungan romansa kami di usia yang sudah dikejar-kejar oleh society di Indonesia. Society kita cenderung tidak puas untuk segala hal pencapaian kita, seolah-olah kita hidup untuk memenuhi segala harapan dan ekspektasi mereka. Sebagai contoh:
1. Ketika berkuliah kita akan ditanya 'kapan lulus?'
2. Ketika sudah lulus, kita akan ditanya 'kapan kerja?'
3. Ketika sudah kerja, kita akan ditanya 'kapan nikah?'
4. Ketika sudah nikah, kita akan ditanya 'kapan punya anak?'
5. Ketika sudah punya anak, kita akan ditanya 'kapan nambah lagi?'
Lihat, bagaimana 5 tahap kehidupan ini dibombardir kepada kita yang juga sedang bingung. Sebab bagi saya dan rekan saya, kami percaya bahwa enggak ada orang yang enggak mau lulus kuliahnya, enggak ada orang yang enggak mau dapat kerjaan yang layak, enggak ada orang yang enggak mau nikah kalau anak mungkin ada yang enggak mau karena ada istilah 'childfree' tapi pointnya adalah enggak ada orang yang enggak mau untuk diam di tempat, semua orang mau kok mencapai semua hal itu, yang banyak orang anggap sebagai sesuatu yang sensitif. Tapi permasalahannya adalah kita juga enggak tau akan sampai di sana kapan, karena diantara usaha dan doa yang terus dilakukan, enggak ada yang bisa kita paksa selain keinginan untuk berserah pada Yang Maha Kuasa.
Lalu kami berbincang perihal hubungan romansa di usia yang serba dikejar itu tadi. Bagi saya yang telah mengalami patah hati semua cinta itu omong kosong apalagi kalau saya sendiri enggak bisa berdamai sama banyak hal di masa lalu (jangan salah mengartikan, perpisahan tahun lalu itu sudah enggak bisa lagi mengganggu kehidupan saya di masa kini kok tenang saja, hanya saja ada banyak luka yang enggak bisa saya sembuhkan bersamaan dan bagi saya enggak apa-apa juga kok kalau harus menyembuhkan lukanya satu per satu) itulah landasan berpikir saya bahwa cinta itu hanya omong kosong. Namun bukan berarti cinta itu jadi salah, enggak. Berbanding terbalik dengan saya, rekan saya ini justru kembali menemukan bibit-bibit cintanya tahun lalu dan saya rasa dia juga udah yakin untuk melangkah ke kegiatan paling menyenangkan di dunia (pendapatku aja sih haha) yaitu menyempurnakan separuh agamanya. Ada banyak hal yang membuat saya kagum bahwa ia seberani itu, enggak kayak saya. Tentang bagaimana ia yakin memilih bahwa pasangannya yang sekarang adalah sosok yang bisa membuat dia lebih bertumbuh, tentang bagaimana ia yang juga menjadi tulang punggung keluarga namun tetap enggak melupakan masa depannya, tentang bagaimana sulitnya ia memahami sosok yang disebut wanita. Dia juga bercerita bahwa semenjak berpasangan dengan perempuan itu ia lebih banyak bertumbuh. Lalu saya berpesan kepadanya perihal hubungan dan manusia yang bertumbuh:
Enggak semua hubungan itu bisa membuat pelakunya saling bertumbuh. —Aksara Segara.
Jadi, saya hanya bisa mendukungnya melalui doa. Sebab di semua hubungan kadangkala kita hanya diam di tempat dengan balutan kata cinta. Kita enggak benar-benar bertumbuh dari sebuah hubungan itu. Jadi kalau kalian merasa bertumbuh dari sebuah hubungan, menurut saya kalian sudah bisa kok untuk memikirkan mau nikah pake adat Jawa atau adat Kamboja. Sebab di usia yang bagi banyak orang sudah harus mencapai segalanya ini, enggak ada hal lain yang mampu membuat kita merasa lebih hidup selain bertumbuh bersama. Manusia itu dinamis, iya. Manusia itu cepat berubahnya, iya. Manusia itu diawali dari huruf M, iya. Pointnnya adalah kedinamisan kita bisa saling terikat oleh orang asing yang mulai membentuk ikatan emosional dengan kita, padahal dulu kita enggak ngira sampe ke sana.
Lalu saya menyadari banyak hal, bahwa belakangan ini banyak rekan seperjuangan yang mulai mencapai babak baru di hidupnya. Perihal tempat kerja baru yang lebih mapan dan layak, perihal keputusan untuk membersamai orang lain selamanya dan perihal pencapaian-pencapaian lain yang tentu membuat sebagian orang merasa iri dan frustasi. Kenapa frustasi? Sebab society kita enggak pernah benar-benar bisa memaklumi keterlambatan akibat jarak tempuh dan anomali lain selama di perjalanan.
Bagi saya enggak apa-apa kalau ternyata saya tertinggal jauh. Misalnya rekan seperjuangan lolos CPNS atau BUMN, lalu yang lainnya punya sosok yang akan menemani tiap paginya dengan kecupan manja di kening. Enggak apa-apa untuk tertinggal dari yang lainnya, sebab enggak semua orang datang di tempat yang bersamaan kalau banyak variabelnya udah beda. Bahkan semasa kuliah saya juga udah mengalaminya, disaat rekan-rekan yang lain sudah lulus saya masih berusaha lulus. Lalu ketika rekan-rekan yang lain sudah bekerja saya masih mencoba melamar kemana-mana. Jadi, menjadi yang lambat udah bukan hal baru di hidup saya. Pilihannya adalah apakah saya mau untuk berdiam di tempat? Jawabannya tentu enggak. Namun apakah saya harus memaksa untuk ketidaksesuaian semuanya dengan lini masa orang lain? Jawabannya juga enggak.
Diantara usaha dan tangan yang terus menengadah enggak ada lagi yang bisa kita lakukan sebagai hamba-Nya selain berserah. —Aksara Segara.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar