Rokokku tinggal 2 batang lagi dan kini aku sudah kehabisan kopi. Sudah hampir 6 jam aku berdiam di kedai kopi ini. Kedai kopi yang meskipun kecil tapi terletak cukup strategis, dekat dengan kampus, terletak di sebrang ATM dan perpustakaan kota. Namun sialnya, aku masih tidak menemukan apapun tentang bagaimana temanku ini bisa menghilang begitu saja meninggalkan rumahnya yang rapi dan seperti tidak tersentuh oleh apapun, seperti orang yang tiba-tiba saja pergi. Anehnya, ia meninggalkan ponsel, dompet dan uang tunai. Sekarang pertanyaannya adalah kalau memang dia kabur dan takut bahwa mungkin akan terlacak, orang waras mana yang meninggalkan uang tunai dengan nominal hampir 25 juta?
Jangan salah sangka dulu, aku pun sempat dimintai keterangan oleh polisi, sebab log panggilan terakhir di ponselnya adalah 7 hari lalu dan menunjukkan namaku, Pradipta. Temanku ini bernama Satrio, aku dan teman-teman semasa kuliah sering memanggilnya Bang Sat karena memang dibandingkan aku dan teman-teman yang lain, beliau ini lebih tua dan lebih dihormati di kampus. Ternyata Bang Sat susah dihubungi oleh orang tuanya sejak 3 hari lalu, sebelum kemarin orang tuanya memutuskan untuk mengunjungi rumahnya dan mendapati tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumahnya. Bahkan, burung-burung peliharaannya mati. Ini aneh, sebab dari yang ku tau, Bang Sat adalah penyayang binatang dan ia tidak akan pernah tega untuk membiarkan hewan peliharaannya mati. Setelah mengetahui bahwa rumah Bang Sat sepi, orang tuanya langsung menghubungi polisi dan melakukan penggeledahan. Mereka menggugurkan asumsi bahwa telah terjadi perampokan, sebab tidak ada tanda-tanda pembobolan paksa pada pintu ataupun jendela. Semua barang rapi, sebab kalau ada perampokan seharusnya kardus sepatu Adidas Samba milik Satrio telah diacak-acak mengingat ketika penggeledahan kardus sepatu itu terbuka dengan uang tunai mencapai 25 juta.
Lalu keesokan harinya aku terdampar di kedai kopi kecil ini. Berharap bahwa melamun dapat membuatku merangkai segala benang merahnya. Rupanya tidak, sialan memang.
"Permisi mas, bisa bayar qris/debit ga ya?" Tanyaku.
"Disini hanya menerima tunai kak." Jawabnya dengan nada sedikit ketus.
"Ah baiklah, kalau gitu saya mau ke ATM depan, perlu meninggalkan identitas? Barangkali masnya takut saya kabur?" Tanyaku kembali meemastikan.
"Enggak perlu kak, silakan. Aku juga enggak berharap kerja di sini dengan jobdesk ga ngotaknya itu. Ambil uang dan bayar tagihan. That's it all i want, dude." Katanya lagi—lagi dengan sedikit ketus dan aksen jawa ketika ia mengucapkan kata terakhir.
Aku hanya mengangguk, lalu berjalan menuju ATM disebrang. Kebiasaanku ketika mengambil uang adalah aku akan mengambil 3 nominal uang dengan total jumlah yg sama. Jaga—jaga kalau aku harus butuh nominal kecil untuk mempersingkat waktu transaksi. 2 lembar Rp100.000, 4 lembar Rp50.000 dan 10 lembar Rp20.000. Setelahnya aku memasukkan uang dan struk penarikan ke saku kemeja lalu kembali ke kedai kopi itu dan membayarnya tagihanku.
Setelah keluar dari kedai kopi dan barista yang tidak menikmati hidupnya itu, aku memasukkan uang dari saku kemeja ke dompetku, lalu melihat struk penarikan uang tunai yang baru saja kulakukan. Disitu tertera juga bahwa saldoku cukup ganjil dan setelah ku cek melalui ponsel ada saldo masuk Rp911.911.
Ah, anjing. Batinku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar