Setelah pertemuan kita beberapa waktu lalu, akhirnya kita berada di ujung jalan. "Maaf tuan, kita telah berada di jalur persimpangan." Kau menutup percakapan kita di sore hari itu. Ketika semburat jingga menyatakan akan membangkitkan kegelapan malam, kaupun sama. Aku hanya berdiam setelah percakapan panjang kita ditutup dengan kalimat perpisahanmu itu.
Kau memalingkan wajahmu dariku, sedangkan aku masih terus menatapmu, sampai kau berbalik dan meninggalkanku dengan punggung terhangat yang pernah aku dekap tatkala hati dan pikiran dipenuhi oleh gegap.
Itu adalah percakapan kita 10 tahun lalu. Ya, kau benar. Aku masih berada di ujung jalan, belum beranjak sekalipun semua tentang kita telah hangus menjadi kenangan. Kau tau Puan, hal yang paling menyedihkan dariku selama 10 tahun hanya berdiam diri di persimpangan ini?
Isi kepalaku semakin riuh, sedangkan hatiku butuh ditenangkan oleh senyumanmu.
Isi kepalaku semakin berisik, sedangkan hatiku hanya butuh suaramu berbisik.
Isi kepalaku semakin rancu, sedangkan di sini kau sudah tidak lagi bersamaku.
Puan, kalau diperbolehkan aku hanya ingin menemuimu sekali saja. Tolong, ajari aku bagaimana cara untuk beranjak dari persimpangan ini. Kau tau? Aku masih ingat bagaimana kau menemukanku di pinggir jalan mengemis pada masa lalu yang tak ku sesali sama sekali. Sekarang, kau menjadi seseorang yang meninggalkanku juga, bedanya kini kau tidak meninggalkanku di pinggir jalan, melainkan di ujung jalan. Jalan mana yang harus ku tempuh, Puan?
Langit semakin mendung dan awan kelabu mulai tertata, sedang pandanganku seolah kabur ke arah utara. Sebab sampai kini, aku tak pernah bisa mengutarakan keinginanku terhadapmu, Puan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar