"Tumben jam segini udah kesini?" Tanya Hesa dengan kepulan asap yang berasal dari mulutnya.
"Biasa, tadi dosennya baru ngabarin ke koordinator kelas, kalo kelas kosong." Jawab Heru singkat masih dengan memandangi jalanan.
"Ya kan gantian kuliahnya, pasti kosong dong kelasnya?" Kali ini Hesa bertanya.
"Gini nih kalo sewaktu kecil bukannya dikasih ASI malah dikasih susu kuda liar. Maksudnya kelas kosong tuh ya kelasnya gak ada." Heru sedikit meninggikan nadanya.
"Keren juga tuh kampus bisa sulap ngilangin kelas." Dengan raut datar dan lagu NDX AKA yang berputar di komputer admin, suasana saat itu nampak seperti cekcok dua bapak bapak yang rebutan nyawer biduan.
"INI MAH BUKAN SUSU KUDA LIAR LAGI. GA DIKASIH SUSU SAMA SEKALI INI PAS KECIL, MAKANYA GAADA ASUPAN KE OTAK." Hesa hanya terkekeh kekeh sembari menyusun tugas tugas makalah dan kemudian memasukkan ke dalam plastik beserta label nama dan harga agar ketika diambil ia tidak perlu repot mencari siapa pemilik makalah itu.
Hesa adalah salah satu pekerja di Wijaya Print, tempat dimana Heru mengerjakan seluruh tugasnya semenjak menjadi mahasiswa baru. Pertemuan itu dimulai tepat 4 tahun lalu ketika Heru menjadi mahasiswa kelautan di salah satu universitas di kota Malang.
"Mas Hesa, aku ambil bulpoin tinta biru 1 ya? Eh ada Mas Heru juga. Halo Mas Heru." Suara seorang perempuan itu memecahkan lamunan kedua lelaki yang sedang sibuk dengan urusan masing masing di tempat print.
"Iya ambil aja Put. Oh iya jangan dibiasain pulang pulang langsung nanya gitu. Salam dulu kek. Kamu gatau apa kalo di sini angker? Tuh liat si Heru lagi kesurupan daun pandan." Hesa gusar dengan kelakuan sepupunya itu.
Yap, Prameswari Putri Wijaya adalah sepupu Hesa. Bahkan bisa dibilang Putri adalah pemilik Wijaya Print. Putri juga memiliki rumah indekos tepat di sebelah Wijaya Print dan Hesa adalah satu satunya lelaki yang tinggal di rumah indekos itu. Hal ini dikarenakan dulu Hesa sempat putus sekolah ketika ia masih berada di bangku sekolah dasar. Lalu orang tua Putri ini mengajak Hesa untuk tinggal bersama dengan mereka di Malang.
Dengan kondisi ekonomi yang terbilang sulit pada waktu itu, ditambah dengan adik adiknya yang banyak. Hesa memutuskan untuk ikut orang tua Putri ke Malang. Namun sesekali ia juga sering menyempatkan untuk pulang mengunjungi kedua orang tuanya serta menjenguk adik adiknya. Hesa dan Putri hanya berbeda 2 tahun, namun Putri sangat menghormati Hesa sebagai sosok kakak kandungnya sendiri, mengingat ia adalah anak tunggal. Untuk urusan bisnis, orang tua Putri pindah ke Surabaya tepat ketika Putri ingin melanjutkan kuliah di Malang. Jadilah orang tua Putri melakukan renovasi pada rumah lamanya untuk diubah menjadi indekos.
Sangat jauh berbeda dengan Putri, ketika Hesa lulus SMA ia malah ingin bekerja di tempat print sebelah indekos Putri itu. Sebelumnya ketika diterima bersama keluarga Putri pun, Hesa juga menawarkan tenaganya untuk digunakan di rumah keluarga Putri itu. Tak ayal Hesa seringkali bertengkar dengan Bi Imah, salah satu asisten rumah tangga mengenai jobdesc di rumah itu. Namun Hesa juga meminta untuk jangan mengganggunya ketika ia memiliki keputusan untuk sekolah sembari bekerja paruh waktu. Setelah lulus pun pengalaman Hesa tidak diragukan lagi. Ia pernah menjadi penjaga konter HP, menjadi pramusaji di salah satu resto fast food, menjadi kuli bangunan, menjadi ojek payung hingga ia juga pernah menjadi kurir makanan dengan sepeda onthel yang ia beli ketika ia masih bekerja di resto fast food. Ia tidak ingin menjadi beban dari orang tua Putri yang telah berbaik hati telah mengizinkan ia untuk tinggal bersama mereka.
Orang tua Putri juga tidak ingin melarang Hesa yang secara struktur bukan anak mereka meskipun pada kenyataannya mereka tidak pernah membeda-bedakan Hesa dan Putri. Melihat kegigihan itulah, Putri menaruh hormat dan segan yang teramat tinggi pada manusia setengah lidah buaya itu.
"Halo Prameswarikuuu" Jawab Heru lembut sekali seperti pantat bayi.
"Prameswari Prameswari, buat lo mah Prames-waria, Her." Jawab Hesa sewot.
"Put, denger ada suara marah marah ga? Kayaknya penjaga tempat ini lagi kesurupan ayam geprek Put. Kabur yuk Put takut. Eh tapi kamu udah makan Put? Kalo belum kita makan dulu yuk di warjo sana." Jawab Heru sembari memutar pandangannya ke sudut ruangan seolah olah dia beneran bisa melihat hantu.
"EH DENGKUL KADAL. ENAK AJA TIBA TIBA NGAJAKIN PUTRI MAKAN. DIA LAGI PUASA DAUD GAUSAH NGAJAK NGAJAK MAKAN!!"
Putri hanya terkekeh melihat tingkah dua lelaki dengan referensi lelucon yang aneh itu. Ia juga menggeleng menandakan ia menolak ajakan Heru dan masuk ke dalam kamar indekosnya.
"Sewot amat sih Hes, lagian gue sama Putri tuh udah cocok tau. Nama dia Prameswari Putri Wijaya, nama gue Pramudya Heru Sudana. Sama sama diawali dengan kata Pram. Kurang cocok apalagi coba? Kita udah ditakdirkan untuk bersama Hes." Jawab Heru panjang lebar.
"LO BISA DIEM AJA GAK? GUE GA SUDI SEPUPU GUE NIKAH SAMA KANTONG SEMAR" rutuk Hesa.
"BRENGSEK LO HES, BADAN DOANG GEDE KAYAK DEDDY CORBUZIER MULUT LO LEMES BANGET KAYAK FENI ROSE."
Keduanya sama sama tertawa dengan lelucon aneh yang baru saja mereka lontarkan. Begitulah Hesa dan Heru. Empat tahun lalu mereka dipertemukan karena ketidaksengajaan, kini mereka menjadi teman dekat dengan segala keluh kesah di kota dingin bernama Malang itu.
"Tapi gue penasaran deh, nama lo siapa emang Hes? Dari 4 tahun lalu lo cuma memperkenalkan diri sebagai ..."
"Jepri Nikol" potong Hesa dengan cepat.
"BANGSAT LO LEBIH MIRIP SAMA KIWIL."
"Beneran lo mau tau? Ntar lo kaget terus kena serangan jantung lagi?" Hesa bertanya.
"Beneran, gue juga penasaran sih se-aesthethic apa nyokap bokap lo ngasih lo nama. Terus nyesel ga ya ngasih nama itu kalo pas gede lebih mirip speaker warnet"
"Eitss jangan salah Her, dulu sebelum gue lahir, orang tua gue berguru ke Joko Pinokio si penyair terkenal itu"
"JOKO PINURBO"
"Nama gue Brahman Mahesa Wijaya."
"ANJINGG... NAMA LO GA COCOK MAKE BRAHMAN, LEBIH COCOK JADI RAHWANA. BRAHMAN TUH KALANGAN KAYAK PENDETA, ROHANIAWAN SAMA SULINGGIH. LO AJA KESERINGAN NONTON BOKEP BUKANNYA BERDOA."
"OTAK DOANG PINTER LO, MULUT LO GAK PERNAH DISEKOLAHIN YA NYET?" Hesa membalas singkat dan berusaha mencari barang untuk dilemparkan kepada Heru.
Tanpa mereka sadari, ledekan dan hinaan semacam itu yang makin mendekatkan mereka. Heru mengeluarkan rokok kretek favoritnya dan menawarinya kepada Hesa.
"Hes, lo masih inget sama Icha gak?" Heru memulai obrolan dengan tatapan kosong.
Hesa terbatuk-batuk mendengarkan nama itu. "MAKSUD LO ANEISHA?"
Heru masih tenggelam dalam lamunannya, ia hanya mengangguk pelan menandakan bahwa ia sepakat dengan nama yang baru saja Hesa sebutkan.
(BERSAMBUNG . . . #2)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar