Badai Puan telah berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?
Tiap taufan menyerang
Kau di sampingku
Kau aman ada bersamaku
Lagu Banda Neira itu terus menggema di ruangan dan di kepalaku. Mencoba meresap di setiap sudut bangunan ini. Lagu Banda Neira itu seolah wujud penggantimu, Puan. Sebab ketika ku putar lagu tersebut, banyak sekali peninggalan peninggalan yang tanggal. Prasasti rasa yang pernah kita ukir dengan begitu indah sebagai insan yang sama sama telah merdeka.
Aku masih mengingat betul prasasti yang kini sedang tersaji di meja depan tatkala alunan piano dari lagu Banda Neira itu masih terus mengadu dengan riuhnya isi kepalaku. Aroma tubuhmu yang tinggal sehabis itu. Tiket bioskop yang menumpuk terbungkus rapi dalam balutan pouch berwarna biru yang luarnya telah usang. Tiket parkir dengan berbagai harga untuk setiap tempat yang kita berdua kunjungi. Sticky note dengan berbagai kalimat penyemangat yang ketika ku baca ulang, rasanya aku ikut sekarat. Foto foto selfie di tempat yang dulu selalu kau kunjungi sendirian, namun waktu itu kita kunjungi bersama. Gelas bertuliskan namaku yang selalu kau isi dengan kopi ketika aku menyempatkan untuk mampir. Surat surat berisi tulisan dan doa perihal kerja sama kita merayu Tuhan.

